Franly Apriliano Oleh, adalah seorang pemuda inspiratif yang menerima apresiasi SATU Indonesia Awards ke-9 pada tahun 2018 dari Astra International.
Terpilihnya Franly sebagai penerima SATU Indonesia Awards 2018 tidak lepas dari kesuksesannya dalam membangun desa Merabu yang ada di pedalaman Berau dengan memanfaatkan potensi Hutan Desa. Pemberian award itu juga sekaligus sebagai apresiasi untuk kegigihannya dalam memperjuangkan kelestarian hutan di Kalimantan, khususnya hutan yang ada di sekitar Desa Merabu.
Franly sendiri sebenarnya bukan penduduk asli Desa Merabu yang dikenal sebagai kampung bagi suku Dayak Lebo ini. Melainkan, ia adalah seorang pendatang yang berasal dari Manado, Sulawesi Utara.
Meski pada awalnya hanya datang sebagai seorang tukang bangunan, namun Franly tidak ragu untuk ikut membangun dan mengembangkan desa serta menjaga hutan di sekitarnya agar tetap Lestari.
Franly menuturkan, pada awal-awal kehadirannya di kampung Merabu pada tahun 2009 hanyalah sebagai tukang bangunan. Ikut ambil bagian dalam membangun sekolah, dan sempat menjadi guru honorer dengan gaji Rp300.000 per bulan di SD 10 Berau, adalah momen-momen yang paling berkesan dan tak terlupakan baginya.
Bahkan, 1 tahun kemudian, tepatnya di tahun 2010, ia l sempat terpilih menjadi kepala desa. Meskipun, saat itu usianya masih tergolong muda, yaitu 22 tahun. Namun, usia muda tak membuat Franly merasa kecil hati. Sebaliknya, ia tetap semangat membangun desa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan kekayaan alam dan ekosistem yang ada di sekitar Desa Merabu.
Pengakuan “Hutan Desa” Kampung Merabu
Luas hutan Kalimantan yang mencapai 40,8 juta hektar membuatnya dijuluki sebagai paru-paru dunia. Tapi sayang, deforestasi atau pembabatan hutan untuk lahan pertanian hingga penambangan, telah membuat luas hutan di Kalimantan berkurang drastis.
Data dari Departemen Kehutanan menunjukkan bahwa hutan Kalimantan berkurang sebanyak 1.230.000 hektar sepanjang tahun 2000 hingga 2005. Data tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan data yang dikeluarkan oleh xxx pada tahun 2007 yang menyebutkan bahwa deforestasi di Kalimantan sepanjang tahun 2000 hingga 2005 mencapai 1,8 juta hektar. Jika mengacu pada data Departemen Kehutanan, itu artinya setiap hari ada sekitar 673 hektar hutan di Kalimantan yang mengalami deforestasi.
Deforestasi dan pembukaan lahan pertanian, seperti lahan pertanian sawit misalnya, tidak hanya menyebabkan hutan berkurang, tapi juga menyebabkan gangguan ekosistem serta menyebabkan hilangnya sumber penghidupan masyarakat yang bergantung pada hutan.
Demikian halnya dengan masyarakat di desa Merabu ini. Sebagian besar warganya menggantungkan hidup dari hasil hutan. Sarang walet adalah salah satu sumber penghasilan masyarakat desa sebelum tahun 2000-an. Karena di hutan sekitar Desa Merabu terdapat banyak gua yang dijadikan sebagai tempat membuat sarang oleh burung walet. Pada saat itu, setiap bulan masyarakat rata-rata bisa menghasilkan 15 juta rupiah dari hasil menjual sarang burung walet.
Namun, deforestasi untuk membuka lahan kebun sawit di sekitar Desa pada awal tahun 2000-an menyebabkan burung walet takut dan pergi meninggalkan gua-gua tersebut untuk membangun sarang di tempat lain.
Akibatnya, hanya tersisa 5 gua saja yang masih digunakan oleh burung-burung walet untuk membangun sarang. Akan tetapi, hal itu pun tidak berarti apa-apa karena, tidak lama berselang, kawasan tempat gua burung walet tersebut berada dilelang oleh Pemda. Sehingga, warga tak lagi boleh memanfaatkan hasil alam yang ada di hutan tersebut.
Di tengah keterpurukan tersebut, pada tahun 2012 datanglah secercah harapan, setelah warga Merabu bertemu dan berdiskusi dengan pihak Transnational Corporations (TNC).
Dari diskusi tersebut, akhirnya tercetuslah ide untuk mengajukan status Hutan Desa. Dengan harapan agar masyarakat bisa melestarikan dan memanfaatkan hutan maupun hasil hutan.
Tepat pada tahun 2013, desa Merabu resmi mengajukan permohonan Hutan Desa dan kemudian memperoleh pengakuan pada tahun 2014 melalui SK kemenhut. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 28/Menhut-II/2014 tanggal 9 Januari 2014, tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Desa Merabu tersebut menetapkan areal kerja hutan Desa Merabu seluas 8.245 hektar.
Sebagai kepala desa yang saat itu menjabat, Franly sudah pasti terlibat dalam usaha meminta hak pengelolaan tersebut. Selain gigih memperjuangkan hak pengelolaan hutan lindung bagi warga desa Merabu, Franly bersama warga juga mencoba mencari solusi yang terbaik dalam memaksimalkan potensi Hutan Desa tersebut.
Memaksimalkan Potensi Hutan Desa
Setelah secara resmi berhak mengelola potensi Hutan Desa, Franly bersama-sama dengan warga membentuk lembaga yang akan mengelola hutan tersebut. Lembaga tersebut dinamakan Lembaga Kelola “Kerima Puri.” Melalui lembaga tersebut, masyarakat mendirikan 5 unit usaha.
- Unit usaha yang pertama adalah unit usaha Desa Wisata yang pengelolaannya diserahkan kepada anak-anak muda
- Unit usaha yang kedua adalah SPBU Mini yang modal awalnya diperoleh dari dana desa
- Unit usaha yang ketiga adalah usaha air kemasan yang menargetkan konsumen dari perusahaan-perusahaan yang ada di sekitar Desa. Usaha kemasan ini memanfaatkan air danau bernama Danau Nyandeng yang berair jernih dan bersih
- Unit usaha yang keempat adalah pengelolaan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) yang digunakan sebagai sumber listrik untuk memenuhi kebutuhan di desa
- Unit usaha yang kelima adalah agrosilvopastoral yang fokus pada pertanian dan peternakan
Melalui berbagai unit usaha tersebut, Desa Merabu kini semakin maju. Bahkan, Desa ini sekarang sudah bisa diakses melalui darat meskipun jalan yang ada belum diaspal. Akan tetapi, dengan adanya jalan tersebut, aksesnya ke desa jadi lebih mudah jika dibandingkan beberapa tahun yang lalu ketika akses ke desahannya menggunakan kapal ketinting (perahu kayu kecil).
Bahkan, unit pariwisata yang dikelola oleh pemuda desa kini sudah mendunia. Karena itu, tidak mengherankan apabila potensi wisata yang ada di desa ini sudah pula diliput oleh media online seperti Lonely Planet.
Kesimpulan
Meski teknologi semakin maju dan kebutuhan hidup semakin menghimpit, namun hutan yang menjadi paru-paru dunia dan menjadi rumah bagi hewan-hewan serta sumber penghidupan bagi masyarakat, wajib untuk dilestarikan.
Semangat melestarikan hutan dan cara bijak mengelolanya untuk kesejahteraan masyarakat, sudah dicontohkan oleh Franly Aprilano Oley dan segenap warga Desa Merabu yang ada di Berau, Kalimantan Timur. Mereka adalah inspirasi yang seharusnya bisa menggugah kita untuk berbuat demi kelestarian hutan.
Dengan kegigihan dan usahanya, Franly dan warga desa Merabu tak hanya berhasil menjaga kelestarian hayati, tapi juga mampu mengentaskan ketertinggalan, kebodohan, dan kemiskinan dengan mengandalkan potensi Hutan Desa.